Kamis, 08 April 2010
Kisah negri monyet
Membaca judul kecil di atas, pikiran kita langsung terbayang tentang suasana belantara yang dipenuhi oleh komunitas binatang cerdik bernama ‘monyet’. Boleh-boleh saja pikiran itu berkata demikian. Namun yang ingin disampaikan pada tulisan ini bukanlah kisah monyet yang ada di belantara sana, melainkan yang ada di perkampungan, atau perkotaan sini. Monyet-monyet yang sudah mengecap kehidupan dunia modern atau paling tidak, ia bukanlah monyet-monyet hutan yang masih primitif. Monyet-monyet yang sudah mengenal apa itu uang, jabatan dan popularitas. Komunitas ini tidak lagi patuh pada aturan yang ada, baik aturan Tuhan maupun buatan mereka sendiri. Mereka tidak lagi tunduk pada sunnah kehidupan, bahkan alam pun yang merupakan habitat tempat ia tumbuh membesar dan berketurunan ikut dihancurkan.
Deskripsi di atas barangkali masih menjadi tanda tanya besar dalam benak masing-masing kita, siapa kira-kira yang dimaksud dengan monyet-monyet tersebut. Tanpa memperpanjang mukaddimah, dan mempersulit teka-teki sehingga semakin penasaran, saya akan berterus terang bahwa monyet yang dimaksud pada pernyataan di atas adalah ‘kita-kita juga’. Dan jangan tersinggung, ‘mungkin yang sedang baca tulisan ini’, itulah dia monyetnya. Lalu apa benar kita-kita ini adalah monyet, atau yang berada di sebelah kita barangkali juga monyet? Saya akan mencoba berargumen dengan anda. Mudah-mudahan argumen saya salah, dan ternyata kita bukan monyet. Kalau memang bukan, berterimakasihlah pada Allah.
Siapa di antara kita yang pernah baca Al Quran? Jawabannya pasti, ‘semua kita’ pernah membacanya. Tetapi kalau ditanya, siapa yang mengerti apa yang dibaca, jawabannya pasti ‘tidak semua kita’. Karena sudah menjadi kelaziman dalam masyarakat kita, baca quran tidak tahu artinya (terjemahannya). Ya, namanya saja baca quran, bukan baca terjemahan Al Quran. Kalau saya, baca dua-dua, Al Quran dan baca terjemahan Al Quran. Di sana dalam Al Quran, ada beberapa ayat yang menginformasikan kepada kita, bahwa dahulu ada sekelompok Bani Israil (Yahudi) dilaknat Allah menjadi ‘monyet’. Ayat-ayat itu antaranya adalah; Al-Baqarah 65, An-Nisa’ 47 dan Al-A’raf 166. Mereka yang dikutuk Allah menjadi monyet kemudiannya dikenal dengan nama ‘ashab as-Sabt’, yaitu ‘orang-orang hari Sabtu’. Hal ini karena peristiwa tersebut terjadi pada hari Sabtu.
Kisah ‘monyet’ dilatarbelakangi oleh penolakan kaum Yahudi pada masa itu terhadap hari Jumat sebagai hari ibadah. Mereka lebih memilih hari Sabtu. Allah mengabulkan keinginan mereka. Tetapi bersyarat. Syaratnya adalah, kepada mereka Allah haramkan untuk melakukan berbagai aktivitas yang dihalalkan pada hari yang lain. Mereka tidak boleh menangkap ikan pada hari tersebut. Di mana pekerjaan dan mata pencaharian mereka rata-rata di laut menangkap ikan. Dan ini karena mereka memang penduduk pinggir pantai, masyarakat pesisir. Mereka bertempat tinggal tepatnya di sebuah kota bernama Ayla/Elat/Teluk ‘Aqabah Mesir. Ada yang mengatakan sebuah kampung antara Ayla dan Thur, yaitu Madyan.
Kisah penyelewengan Bani Israil, terhadap larangan Allah pada hari Sabtu telah diuraikan secara panjang lebar oleh sejumlah ulama sejarah dan tafsir, antaranya adalah Ibnu Katsir dalam bukunya Tafsir Al Quran Al-‘Adhim. Inti dari kisah itu menyebutkan bahwasanya kaum Yahudi telah mengikat janji dengan Allah untuk tidak melanggar hari Sabtu. Kaum Yahudi dikehendaki untuk menghormati hari Sabtu dan berhenti dari berbagai aktifitas sehari-hari mereka menangkap ikan. Konteks larangan itu tidak lain adalah cobaan atas mereka. Akan tetapi di antara mereka akhirnya ada yang melanggar perjanjian tersebut. Hari Sabtu tidak lagi dihormati sebagaimana mestinya. Mereka tidak mau bersabar dari cobaan itu. Mereka kembali menangkap ikan sebagaimana biasa.
Orang-orang yang melanggar janji itu berupaya mencari helah dan upaya untuk bisa bekerja seperti biasa pada hari tersebut. Mereka mencari-cari alasan supaya dapat menangkap ikan pada hari Sabtu, hari yang dilarang. Di mana dalam beberapa riwayat disebutkan bahwa ada ikan-ikan yang hanya muncul pada hari Sabtu, tidak muncul pada hari lain yaitu ikan paus (haut). Allah memberi cobaan kepada Bani Israil agar tidak tergiur dengan ikan yang muncul pada hari Sabtu. Tetapi mereka tidak menghiraukan larangan tersebut. Dengan akal bulusnya, satu persatu ikan-ikan yang hanya bermunculan pada hari Sabtu itu ditangkap dan masuk dalam perangkap mereka.
Yang uniknya adalah cara mereka menangkap ikan. Mereka melakukannya dengan menancapkan kail di laut atau memasang jala pada hari Sabtu. Sehingga ketika ikan-ikan itu telah masuk dalam perangkap dan tidak bisa melepaskan diri lagi, lalu pada malam harinya (malam Ahad) barulah mereka mendatangi kail dan jala tersebut. Dengan cara demikian, mereka bisa berdalih tidak mengambil ikan pada hari Sabtu, tetapi ikan itu diperolehnya pada malam Ahad. Padahal praktek menangkap ikan yang sesungguhnya justru mereka lakukan pada hari Sabtu, di saat jala dan kail dipasang. Merasa punya alasan, dan merasa alasannya benar akhirnya pelanggaran pun kerap dilakukan. Kalau pada mulanya pelanggaran itu dilakukan oleh satu dua orang saja, dan dengan sembunyi-sembunyi, kini malah sudah terang-terangan dan melibatkan banyak anggota masyarakatnya.
Berdalih menangkap ikan pada malam Ahad dan bukannya hari sabtu sebenarnya tidak lebih dari sebuah pelarian atau justifikasi atas kesalahan yang mereka lakukan. Mereka tahu bahwa mereka sedang melakukan dosa, akan tetapi mereka mencoba menutupi dosa tersebut dengan alasan yang dibuat-buat untuk mengelabui orang-orang yang tidak suka dengan sikap dan perbuatan mereka. Di sinilah kutukan Allah turun ke atas mereka. Allah mengutuk mereka menjadi ‘monyet’.
Yang paling menarik dari cerita di atas adalah ketika Imam Mujahid, salah seorang ulama tafsir terkemuka masa tabiin, murid dari Abdullah Ibnu Abbas memberi komentar tentang kisah pengutukan bangsa Yahudi tersebut. Kata beliau, mereka tidak dikutuk Allah menjadi monyet benaran, dalam artian berubah bentuk secara fisik menjadi monyet, melainkan Allah mengutuk prilaku (karakter) mereka menjadi prilaku monyet. Diri mereka secara fisik tetap sebagai seorang manusia, tetapi dalam diri mereka secara jiwa dan kehendak adalah monyet. Sehingga dalam kehidupannya mereka bertindak layaknya monyet.
Sekiranya pendapat Imam Mujahid benar, dan tidak menutup kemungkinan untuk benar, maka tidak mustahil yang kini berkeliaran di kantor-kantor pemerintah, gedung-gedung sekolah dan perguruan tinggu, pasar-pasar, serta di sejumlah tempat lainnya adalah turunan monyet-monyet kutukan masa Yahudi dulu. Monyet-monyet berwajah manusia. Karena dahulunya mereka hanya mendapat kutukan watak, bukan fisik. Mereka tetap berketurunan sampai kapan pun. Dan boleh-boleh saja yang sedang membaca tulisan ini juga turunan yang ke sekian dari moyang kutukan dulu. Sekali lagi minta maaf, hanya menduga, tidak menuduh. Inilah yang penulis maksud pada awal tulisan di atas tadi.
Ciri dasar atau watak dari manusia monyet adalah sifatnya yang suka melakukan pembenaran atas sesuatu yang jelas-jelas salah, dan ia tahu bahwa itu salah. Dalam satu hadist Rasulullah pernah bersabda, “janganlah kalian melakukan perbuatan seperti yang pernah dilakukan oleh orang-orang Yahudi, sehingga kalian menghalalkan haramnya Allah dengan sekecil-kecil hilah” (HR: Abu Abdillah bin Batthah). ‘Hilah’ yang dimaksud oleh Rasulullah adalah ‘olah’ kalau dalam bahasa kita hari ini. Bukankah kita biasa melihat atau mendengar bagaimana seseorang yang diberi sedikit wewenang, kemudian mencoba menyalahgunakan wewenang tersebut dengan cara yang sehalus-halusnya sehingga nyaris tidak diketahui oleh orang banyak, lalu kita mengatakan si polan itu pandai dalam mengolah.
Olah sini olah sana adalah suatu yang lazim dan lumrah dipraktekkan oleh masyarakat kita dewasa ini. Untuk sebuah kesuksesan, dalam bidang apapun itu, kata kuncinya adalah ‘olah’. Asal ada kesempatan, maka ‘olah’ pun menjadi bagian yang dinanti-nantikan. Mulai dari masyarakat kelas bawah hingga birokrat papan atas. Mulai dari pengemis dan gembel jalanan hingga saudagar kaya. Dari orang bodoh hingga akademisi dan intelektual. Meskipun tidak semua terlibat dalam trend ‘olah’, akan tetapi tradisi ini sudah menjadi satu budaya bangsa. Mimpi rasanya untuk mampu merubah budaya ‘olah’ dari masyarakat kita. Inilah wajah negeri kita hari ini. Negeri yang sesak dipenuhi oleh manusia-manusia kutukan, manusia-manusia monyet.
Dalam sebuah hadist maja orang Aceh mengatakan, ‘meunye bak bu’ bek tajoek bungong’ (kalau sama monyet jangan dikasih bunga). Dalam waktu yang singkat, bunga itu akan hancur disobek-sobek, batangnya dicabut. Negeri ini ibarat bunga, seharusnya dijaga, dirawat dan dipelihara. Akan tetapi sungguh menyedihkan, jika yang merawat, menjaga dan memelihara bunga itu adalah monyet-monyet, apa jadinya? Lihatlah kenyataan hari ini, dalam kurun waktu yang jika seorang manusia normal seharusnya sudah memiliki cucu, tetapi negeri ini belum punya apa-apa. Pertanyaannya, mandulkah negeri ini, rasanya tidak. Negeri kita memiliki segala-galanya, sumber daya alam dan manusianya. Tetapi yang mengelola sumber tersebut bukanlah manusia sungguhan, tetapi manusia-manusia yang berwatak dan berprilaku monyet.
Barangkali timbul pertanyaan di pojok sana, bukankah Yahudi kini menjadi bangsa yang berkuasa di planet bumi? Kalau memang benar pendahulu mereka dulu pernah dikutuk menjadi monyet, lantas bagaimana bisa keturunan monyet kutukan itu memimpin dunia?
Perlu diketahui, bahwa tidak semua Yahudi terlibat pelanggaran hari Sabtu, bahkan dikisahkan mereka terpecah menjadi tiga kelompok. Satunya melanggar, kelompok lainnya melarang dan mungkir dari pelanggaran tersebut, dan satu kelompok lagi justru tidak melibatkan diri sama sekali, tidak melanggar, juga tidak melarang (abstain). Jadi sah-sah saja yang memimpin percaturan globalisasi dunia sekarang adalah dua kelompok yang tidak terlibat pelanggaran. Mana kala yang melanggar, yang akhirnya dikutuk menjadi monyet, keturunannya ya di sini ini, di sekitar anda dan saya. Yang lagi nulis-nulis itu, coba-coba mark-up harga dan manipulasi data. Mereka suka mencuri, dan memeras rakyat dengan segala cara. Uang negara atau milik orang lain, di matanya adalah hak dia, begitulah seterusnya, anda tentu lebih tahu dan juga lebih arif menilainya.
Makanya jangan heran, meskipun negeri kita kaya, berpuluh tahun sudah merdeka, hasilnya, ya begini-begini aja. Kita akan selamanya menjadi negara mundur dan tak pernah maju kalau masih diurus oleh monyet-monyet. Takdir barangkali kita menjadi keturunan monyet kutukan. “mohon maaf kalau ada yang tersinggung”. Dan jangan pernah tersinggung, karena jika anda tersinggung, maka andalah ‘monyetnya’. Tapi apa iya monyet punya perasaan sehalus itu, sehingga ia akan tersinggung dengan cemeohan dan cercaan? Saya pikir bukan monyet namanya kalau tersinggung….hewan selamanya tidak berperasaan, karena ia bukan manusia yang diberi hati dan akal. WallahuA’lam.
Oleh Muhammad Syahrial Razali Ibrahim Lc MA, dosen STAIN Malikussaleh Lhokseumawe dan Peneliti Tazkiya Institut.
Sumber: www.harian-aceh.com
Diposting oleh Anila noman di 01.04
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
0 komentar:
Posting Komentar